Apa Benar Ridho Allah yang Dikejar?

Ya Rabb, jika surga harus ku tebus dengan ini, maka aku ridho.

Aku tak tahu, kebaikan mana yang akan mencukupkan limpahan kasih sayang Allah kepadaku, kepada seonggok manusia yang berlumuran dosa. Aku pun tak tahu, langkah-langkah mana yang akan membawa dan mendatangkan ampunan Allah kepadaku, kepada orang yang mengaku beriman tapi masih sering tergoda kemaksiatan.

Kelelahan, kepedihan, kesakitan yang dirasakan masih jauh dari yang sepatutnya. Masih ada terbersit ingin dipuji, masih ada celah untuk berkeluh kesah. Masih ada harap perhatian-perhatian dari manusia lainnya. Dan ternyata, itulah yang membuat langkah ini goyah, payah. Sebab, simpati dari Allah tak lagi menggiurkan untuk diperjuangkan.

Kembali bertanya pada diri sendiri, apakah benar jika ridho Allah yang sedang dikejar?

Pernah Takut Menikah

Aku pernah takut menikah karena banyak hal yang membuatku bertanya-tanya, “Kenapa ada orang yang menikah tapi jauh dari sakinah?”

“Apa yang membuat mereka yang berumah tangga menjadi ujian satu dengan yang lainnya?”

Dan banyak pertanyaan lainnya yang seringkali membuatku takut bahkan untuk sekadar membicarakannya dengan teman-teman, yang ketika dulu selalu bersemangat membahas persiapan pernikahan.

Tapi aku, bingung mulai dari mana mempersiapkannya.

Sampai disadarkan nasehat dari salah seorang guru kehidupanku; menikah separuh dari agama maka selesaikan setengah sisa yang lainnya dengan iman dan takwa.

Saat itulah, aku mulai banyak membaca, berdialog dan belajar dari mereka yang ku lihat keluarganya hangat, saling memberi nasehat jika lalai dalam taat.

Tentu saja pada kisah Baginda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dengan para istri-istrinya. Menyelami bagaimana sakinah, mawaddah dan rohmah bisa dihadirkan dalam keluarga. Dimulai dari bagaimana aku, sebagai personal memperbaiki diri sebagai hamba.

Lebih jauh lagi, perempuan sebagai surga atau neraka di dalam rumahnya. Pantas saja istri-istri shalihah bisa masuk surga lewat pintu yang mana saja, sebab ujiannya begitu luar biasa.

Jika bukan karena Allah yang memampukan dan menolong kita, siapa lagi yang bisa melakukannya?

@hajiahnurdiani

Makna Cukup

Dari banyak kisah yang ku baca, dengar juga rasakan sendiri, bagaimana kita bersikap kepada manusia lainnya juga dipengaruhi pada bagaimana kita memandang dunia dan segala cerita di dalamnya. Ada yang sering mendawamkan cukup meski apapun upaya yang ia lakukan tapi belum juga mencapai tujuan, selalu ada kelapangan dan ketenangan dalam ucap juga tindakan.

Perasaan cukup sekuat hati dijaga sebab tak melulu kenikmatan mendatangkan ketenangan. Boleh jadi, ada lalai sebagai hamba yang membuat diri jumawa. Sehingga bagi mereka, mencukupkan diri dengan apa yang Allah beri juga bagian dari upaya mewujudkan mimpi. Selalu ada ruang ridho dalam hati-hatinya, meyakini segala daya dan upaya, Allah yang memampukannya.

Tapi di lain waktu, ada yang begitu menggebu, mengejar segala cita dan mimpi-mimpinya hingga terlena pada fatamorgana dunia, sehingga tanpa sadar menggoreskan luka bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Mungkin terlupa jika kita hanya manusia biasa yang sangat mungkin ada cela hingga berbuat aniaya.

Barangkali, kita ada di pertengahan antara keduanya. Tidak selalu merasa cukup, meski tetap menikmati tiap episode dalam hidup.

Ini tentang bagaimana kita memandang dunia dan segala yang membuat terlena hingga kita lupa ada kehidupan setelah kematian nantinya. Tentang bagaimana seorang hamba mau berlapang dada, menyisihkan ruang dalam hati dan pikirannya untuk selalu ridho pada apapun ketetapan dari Sang Maha Kuasa.

Juga tentang bagaimana seorang yang mengaku beriman, berserah diri pada ketentuan dalam balutan iman, ternyata benar iman butuh pembuktian. Apakah jujur ataukah dusta dalam hati ia bersemayam?

Agaknya, kita perlu lebih sering menengok dan menyuburkan kembali arti cukup. Lebih dari sekadar wacana sebab ia kan mengantarkan pada langkah yang makin tegak, semangat kembali berkobar setelah lama meredup. Membawa hati-hati yang tadinya bimbang kembali teguh dan terselimuti kehangatan iman. Teduh, menyeluruh.

Terima kasih untuk selalu mengingatkan makna cukup.

Depok, 21 Oktober 2023
Hajiah M. Muhammad