Dari banyak kisah yang ku baca, dengar juga rasakan sendiri, bagaimana kita bersikap kepada manusia lainnya juga dipengaruhi pada bagaimana kita memandang dunia dan segala cerita di dalamnya. Ada yang sering mendawamkan cukup meski apapun upaya yang ia lakukan tapi belum juga mencapai tujuan, selalu ada kelapangan dan ketenangan dalam ucap juga tindakan.
Perasaan cukup sekuat hati dijaga sebab tak melulu kenikmatan mendatangkan ketenangan. Boleh jadi, ada lalai sebagai hamba yang membuat diri jumawa. Sehingga bagi mereka, mencukupkan diri dengan apa yang Allah beri juga bagian dari upaya mewujudkan mimpi. Selalu ada ruang ridho dalam hati-hatinya, meyakini segala daya dan upaya, Allah yang memampukannya.
Tapi di lain waktu, ada yang begitu menggebu, mengejar segala cita dan mimpi-mimpinya hingga terlena pada fatamorgana dunia, sehingga tanpa sadar menggoreskan luka bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Mungkin terlupa jika kita hanya manusia biasa yang sangat mungkin ada cela hingga berbuat aniaya.
Barangkali, kita ada di pertengahan antara keduanya. Tidak selalu merasa cukup, meski tetap menikmati tiap episode dalam hidup.
Ini tentang bagaimana kita memandang dunia dan segala yang membuat terlena hingga kita lupa ada kehidupan setelah kematian nantinya. Tentang bagaimana seorang hamba mau berlapang dada, menyisihkan ruang dalam hati dan pikirannya untuk selalu ridho pada apapun ketetapan dari Sang Maha Kuasa.
Juga tentang bagaimana seorang yang mengaku beriman, berserah diri pada ketentuan dalam balutan iman, ternyata benar iman butuh pembuktian. Apakah jujur ataukah dusta dalam hati ia bersemayam?
Agaknya, kita perlu lebih sering menengok dan menyuburkan kembali arti cukup. Lebih dari sekadar wacana sebab ia kan mengantarkan pada langkah yang makin tegak, semangat kembali berkobar setelah lama meredup. Membawa hati-hati yang tadinya bimbang kembali teguh dan terselimuti kehangatan iman. Teduh, menyeluruh.
Terima kasih untuk selalu mengingatkan makna cukup.
Depok, 21 Oktober 2023
Hajiah M. Muhammad