Berkah Ramadhan (?)

“Masyaallah ya, banyak yang jualan lontong dan gorengan kalo Ramadhan gini. Tapi semua habis aja tuh”, selorohku pada ibu. “Itulah berkah Ramadhan ka. Rezeki Allah luas udah ditentuin ke setiap orang. Gak perlu saling sikut, berebut rezeki”, ibu menanggapi sambil tetap fokus pada sayuran di tangannya. Aku yang sependapat dengan itu kemudian memikirkan ulang di lain waktu. Apakah iya? Berkah Ramadhan untuk mereka yang baru membuka lapaknya di bulan mulia ini? Ah, mungkin perlu sejenak kita renungkan.

Berkah adalah kebaikan yang terus dan tetap bertambah meski jumlahnya tak melimpah. Itu setidaknya arti berkah untukku. Dan tentu keberkahan itu datangnya dari Allah. Pikiran melayang ketika para sahabat di sekitaran Masjid Quba pada masa Rasulullah shollallahu ‘alayhi wasallam, mereka bersegera meninggalkan dagangannya ketika terdengar azan. Nah, para penjajak lontong dan gorengan, serta kudapan lain khas Ramadhan itu justru sebaliknya. Mereka rela menunda seruan shalat ketika azan berkumandang demi melayani pembeli yang sudah mengular, mengantri. Lalu, dimana letak barokahnya?

Aku tidak mengatakan para pedagang itu jauh dari barokah, tidak, sama sekali tidak. Hanya menyayangkan jika mereka jadi lalai karena lapaknya. Bukankah Allah yang mendatangkan para pembeli itu? Bukankah Allah yang memberikan rezeki ke para pedagang itu? Justru seharusnya semakin taat, berterima kasih kepada Allah dengan menyambut panggilan sholat penuh suka cita, sesumringah ketika lapaknya kedatangan calon pembeli.

Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari kiamat). (Mereka melakukan itu) agar Allah memberi balasan kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Dia menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas. (QS. An Nuur (24) : 36-37)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, disebutkan bahwa ketika kaum muslimin sedang sibuk berdagang di pasar, pada saat itu mereka mendengar azan, mereka segera mendirikan shalat ke masjid. Maka dari itu, turunlah ayat ini (An Nuur ayat 36-38) sebagai pujian atas sikap mereka.

Itulah yang terkadang kita lupa, mengejar rezeki hanya berorientasi pada dunia dan mengesampingkan urusan akhirat. Seakan lupa bahwa segala kenikmatan yang dirasakan di dunia adalah karunia Allah, maka sudah sepatutnya kita mengingat-Nya, seraya memuji keagungan-Nya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Barang siapa  mengucapkan subhanallah wa bihamdihi (Maha Suci Allah dan segala pujian hanya untuk-Nya) sehari seratus kali, maka kesalahan-kesalahannya akan terampuni walaupun sebanyak buih di lautan” (HR. Bukhari No. 5926)