Komentator

Ada sebuah ungkapan yang entah siapa yang pertama kali mencetuskan: Hidup itu Allah yang atur, kita jalani dan orang lain komentari. Barangkali ada benarnya, tapi tak untuk kita perdebatkan ya. Sudah cukup banyak sajian di ranah maya yang mengundang perdebatan, sampai kadang pengen nyiram air ke lini masa hahahah. 

Tadi malam, beliau menghubungi saya tanpa basa-basi. Isi dari percakapan kecil itu berkisah tentang kesedihannya atas komentar negatif dari orang-orang di sekelilingnya. Tentang apa? Saya tak akan menyebutkannya disini. Kepadanya, saya tanya,

“Dibandingkan komentar negatif itu dengan yang berikan aura positif, lebih banyak mana?”.

“Lebih banyak yang positif sih, Kak”. 

“Nah, kamu fokus ke hal-hal positif aja kalo gitu. Yang negatif jangan diambil pusing. Kalaupun mau dipikirin (yang negatif itu), jadikan batu loncatan. Jadikan pemicu semangat untuk lebih baik lagi” 

Ia sepertinya meng-iya-kan karena emoticon balasannya menunjukkan demikian. Kalaupun tak sepaham, setidaknya ia tak lagi berkutat dengan komentar negatif yang ia terima.

Terkadang, kita sudah tahu apa yang harus dilakukan, apa yang semestinya dilaksanakan. Hanya saja butuh penguatan, butuh keyakinan. Atau sebenarnya hanya butuh didengarkan. Saya jadi ingat, ketika itu seseorang yang saya kagumi karena keshalihah-annya, beliau sampaikan Jiah, kalau kamu curhat dan kakak diam, bukan karena kakak gak mau dengar. Tapi ada Dzat yang lebih layak jadi tempat kamu berkeluh kesah. Ada Dzat yang sangat senang kalau kamu menangis, Dzat yang senang ketika kamu menjadikannya sandaran. Dzat itu adalah Allah. Maka sebelum kamu cerita tentang kesedihan atau kesenangan dalam hidup, pastikan Allah adalah yang pertama jadi tempat berbagi cerita. Jangan sampai Ia cemburu”

Ketika itu, saya menolak. Pengen protes gitu rasanya. Tapi lambat laun, seiring perjalanan yang mendewasakan – ceileh -, saya paham. Dan kadang, ingin menyampaikan ulang ke orang-orang yang menyampaikan keluh kesahnya kepada saya. Tak banyak memang, tapi cukup membuat berkerut kening dan sedikit banyak mengusik pikiran. Tapi di lain sisi, saya merasa beruntung karena bisa belajar di universitas kehidupan dan memetik hikmah yang berserakan.

Semoga Allah mudahkan segala urusan, dan menjadikan hati-hati kita dalam iman, dalam ketakwaan.

Baarokallahufiikum.

Secarik Syair Sayyid Quthb

Bukan berarti, ketika sorak-sorai khalayak itu kau terima, bahagia sebenar kau rasa. Sebab sejatinya, tidak ada bahagia tanpa menjadikan jiwa kita semakin bererat dekap dalam taat. Menghamba setulusnya pada Penggenggam jiwa. Memang benar, atau ini hanya pembelaan untuk kekhilafan bahwa manusia tempatnya salah dan lupa. Seakan melegitimasi kesalahan dan memaklumi kelupaan. Maka sesekali menyesali perbuatan di ujung malam sebelum katup mata saling padu dalam tidur menjadi hal yang patut dibiasakan. Sebagaimana para sahabat menghisab diri setelah sehari berlalu-lalang dalam berkegiatan.

**********

Ada ungkapan dari seorang Sayyid Quthb yang begitu menggetarkan dan kemudian membuat saya menarik kesimpulan “Pantas saja ia diburu fitnah, bolak-balik ke penjara bahkan menerima hukuman mati tak jadi persoalan”. Dan inilah yang ia ungkapkan : Jari telunjuk yang setiap hari memberi kesaksian tauhid kepada Allah saat shalat, menolak menulis satu kata pengakuan untuk penguasa tiran. Jika saya dipenjara karena kebenaran, saya rela dengan hukuman kebenaran. Jika saya dipenjara dengan kebatilan, pantang bagi saya minta belas kasih kepada kebatilan”. Masyaallah! Allahu yarhamhu. 

Sayyid Quthb adalah sastrawan yang syahid mempertahankan kebenaran. Bekerja di bidang jurnalistik sejak muda dan aktif menulis makalah di berbagai surat kabar di Mesir seperti Al Ahram, Ar Risalah, dan Ats Taqafah. Bahkan di tahun 1953 memimpin surat kabar pekanan Ikhwanul Muslimin. Ketajaman pena ia goreskan untuk memerangi berbagai kerusakan dan penyimpangan di kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Ia mencapai puncak karir dalam kritik sastra yang khas dengan paduan syahdu antara seni dengan sejarah bahasa dan psikologi.

Pada tahun 1947, Sayyid Quthb berubah haluan dari sastra menuju Islam dan menjadi tokoh Islam kontemporer. Pernah dengar Tafsir Fi Zhilalil Qur’an? Itulah salah satu karya monumentalnya. Hal menarik lainnya dari seorang Sayyid Quthb adalah tentang sikap tegas dan kokoh mempertahankan ketauhidannya dalam tulisan dan berbagai karyanya. Ia tidak mengeluarkan vonis keagamaan terhadap orang lain dan tidak mengkafirkan masyarakat. Tahu kenapa? Ini yang ia ungkapkan, “Tugas kita bukan menetapkan vonis terhadap orang lain. Tugas kita adalah mengenalkan kepada mereka hakikat laa ilaaha illallah, karena mereka tidak tahu konsekuensi esensial dari syahadat ini”.

Di antara yang membuat saya tertantang untuk membaca tentang Sayyid Quthb adalah karena menurut kabar burung, beliau punya banyak musuh. Musuh Islam. Beliau adalah salah seorang tokoh yang diperhitungkan ketajaman pikiran dan pergerakannya oleh musuh-musuh Islam. Termasuk tokoh revolusi Mesir Abdun Nashir yang merupakan pemimpin zalim, penguasa tunggal yang menerapkan pemerintahan diktator. Di pemerintahan Abdun Nashir itulah pertama kali Sayyid Quthb dipenjara pada tahun 1954. Dan di bawah kepemimpinan Abdun Nashir itu juga, Sayyid Quthb dijatuhi hukuman mati atas tuduhan upaya pembunuhan terhadapnya dan penggulingan pemerintahannya. Tanggal 9 Agustus 1965, Sayyid Quthb kembali dipenjara atas fitnah tersebut. Pelaksanaan hukuman mati terhadap Sayyid Quthb dilakukan sebelum terbit fajar pada hari Senin, 29 Agustus 1966 setelah melalui pengadilan yang diketuai oleh Fuad Ad Dajwi.

Abdullah Al ‘Aqil menuturkan bahwa hukuman mati terhadap Sayyid Quthb merupakan tragedi yang menyakitkan, mengguncang dunia Arab, menyulut kemarahan ulama, da’i dan masyarakat Islam. Pada saat yang sama, hal itu menyejukan bagi musuh-musuh Islam. Kaum muslimin mengecam keras ketidakadilan pemerintahan Abdun Nashir, melakukan shalat gaib di penjuru timur dan barat, surat kabar Islam menampilkan edisi khusus tentang Asy Syahid Sayyid Quthb.

Para tiran mengira dengan memenjara dan membunuh dai berarti berhasil menumpas Islam. Tapi itu adalah pemikiran keliru, salah besar. Terbukti dengan karya-karya Sayyid Quthb yang semakin dikenal berbagai penjuru dunia, sebagian besar bukunya dicetak lebih dari dua puluh lima penerbit, dan diterjemahkan ke berbagai bahasa sehingga kita bisa mengenal karya-karya luar biasa darinya.

Saya akhiri keharuan ini dengan syair Akhi yang ditulis Sayyid Quthb dari balik jeruji besi, ini menjadi satu mata air syair Islam yang menggambarkan denyut jantungnya.

Saudaraku, engkau merdeka, meski berada di balik jeruji penjara.
Saudaraku, engkau merdeka meski diborgol dan dibelenggu bila engkau pada Allah berpegang teguh. Maka tipu daya musuh tidak membahayakanmu.
Wahai saudaraku, pasukan kegelapan akan binasa.
Dan fajar baru akan menyingsing di alam semesta.
Lepaskan kerinduan jiwamu.
Engkau akan melihat fajar dari jauh telah bersinar.
Saudaraku, engkau jangan jenuh berjuang
Engkau lemparkan senjata dari kedua pundakmu.
Siapakah yang akan mengobati luka-luka para korban
Dan meninggikan kembali panji-panji jihad?”

Disarikan dari Abdullah Al ‘Aqil dalam Min A’lami Al Harokah wa Ad Da’wah Al Islamiyah Al Mu’ashirah (Mereka yang Telah Pergi : Tokoh Pembangun dan Pergerakan Islam Kontemporer)

Aturan Main

Janji Allah, sebesar biji dzarrah pun kebaikan atau keburukan akan diberi balasan.
Aturan mainnya adalah, ketika orang berbuat baik maka kita harus balas dengan kebaikan yang serupa atau kebaikan yang lebih baik dari apa yang sudah orang lain lakukan. Sebaliknya, ketika orang lain berbuat zhalim sama kita, maka kita memaafkan mereka, dan melupakan kezhaliman tersebut. Bukan membalasnya. Lantas, apa yang membedakan kita dengan mereka yang zhalim kalau kita ingin mereka merasakan sakit atau ruginya dizhalimi?

Jika pun rasa sakit dan perih karena kezalimannya membuat kita semakin marah, bersegeralah meredakannya. Jangan sampai kita disibukan oleh hal tak penting seperti itu. Waktu kita sangat berharga, terlalu mahal untuk membayar rintihan sakit karena terluka ulah tangan orang lain. Oh tidak, sejatinya setiap apa yang terjadi terhadap diri ini adalah karena ulah tangan kita sendiri. Orang lain hanya lintasan kita semakin taat atau mendekat pada maksiat.

Jangan sampai menyesal, meratap dan memaki diri yang tersesat. Menangisi kekhilafan boleh saja, tapi tak perlu berlama-lama. Bersegera bangkit, bersegera menapaki jalan selamat. Jangan sampai menyesal, meratap dan memaki diri yang terjatuh. Jatuh itu biasa, karena jalan yang ditempuh berhiaskan ujian untuk pembuktian iman.

Pameran

Bukunya sudah berdebu, agak kotor di tepi lembarannya. Warna putih kertas hanya tampak pada bagian tengah karena sisi samping buku menandakan ia kurang terjaga, oh maaf, lebih tepatnya tidak dijaga oleh saya. Menyebalkan dan mengesalkan memang, tapi siapa suruh tak dijaga? Itu menandakan minat baca baru sekadarnya. Kali ini, biarkan saya mengakuinya.

Buku yang agak usang itu, sarat makna. karya Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin yang sudah diterjemahkan. Satu jilid, maksud saya, jilid satu. Ah ya! Karena baru ini yang dipunya. Saya mohon jangan ada yang menghakimi ya, saya lebih banyak pinjam daripada punya. Mohon maaf T_T

Di dalamnya, ada banyak uraian dalil untuk jadi rujukan amalan. Hanya saja, saya tidak membahas itu disini. Saya sadar betul tak punya kecakapan dan kecukupan ilmu untuk menuliskannya. Maka izinkan saya membuat sepenggal catatan  dari mukadimah buku legenda ini.

Bagi orang-orang yang berpikir tentang kekuasaan dan keagungan Allah, tanda-tanda itu bukan hanya menambah wawasan tetapi juga menambah keimanan mereka. Tahu kenapa? Karena selain mereka sibuk memperhatikan masalah keduniawian, mereka pun sibuk dalam ketaatan. Bagaimana caranya? Menggunakan akal untuk berpikir, hati untuk berzikir serta senantiasa mencari keridhoan Allah. Menjauhi segala hal yang dapat menimbulkan murka Allah.

Riyadhus Shalihin disajikan dengan mencantumkan hadits-hadits shahih, pada tiap babnya, dihadirkan ayat dalam Al Qur’an baru kemudian hadits-hadits shahih disertakan. Masyaallah, begitulah orang-orang berilmu. Sangat berhati-hati dalam menyampaikan agar kita dapat belajar dengan iman. Sehingga, ilmu yang didapat menjadi anak-anak tangga ketakwaan, menghantarkan kita pada keberkahan dan keridhoan.

Tidak lain dan tidak bukan ini adalah satu pameran kebodohan dari saya, maka saya mohon ampun kepada Allah semoga diampuni segala dosa dalam penyampaian. Sungguh kebenaran hanya milik Allah Ar Rahmaan.

Depok, 6 Agustus 2017

Hajiah M. Muhammad

Sudah Kukatakan

Mau apa kau? Sudah kukatakan, menyandarkan harap itu pada Allah saja. Agar kecewa tak kau rasa, agar perih sesak tak mengiris hati dan meninggalkan luka. Tidak banyak yang tahu tentang dirimu kecuali dirimu sendiri. Maka jangan harap orang lain mau mengerti tentangmu.

Menarik Diri

Tidak banyak yang tahu dan memang saya pun tak tahu. Menarik diri dari sekumpulan orang-orang baik dan menyaksikan bagaimana mereka tanpa saya. Nyatanya, semua baik-baik saja. Hanya seperti kehilangan pada awalnya, tak lama pun sudah biasa. Seperti tak terjadi apa-apa. Karena memang saya bukan sesiapa.

Namun yang menjadi menyesakan adalah karena kita tidak pernah tahu siapa yang menjadi sebenar-benar kawan sebelum kita mendapati kesulitan, ditimpa kesusahan. Tidak demikian, karena saya percaya bahwa Allah tidak akan membiarkan kita mengambil sandaran selain daripada-Nya. Kamu tahu kenapa? Karena jika bukan Allah yang memudahkan segala urusan, siapa lagi?

Sampai suatu waktu, saat hari berjalan selayaknya detik demi detik berganti. Sapa dan ungkap kerinduan diutarakan, terurai begitu manis. Tapi sayang, saya terlalu malu untuk ungkapkan bahwa saya pun rindu. Hanya ingin mendoakan agar mereka Allah jaga selalu, dalam limpahan kasih sayang-Nya. Dalam curahan barokah dan ridho-Nga. Biarlah saya ini berjalan, pelan.

Depok, 6 Agustus 2017
Hajiah